Sabtu, 23/08/2008

Robi Nurhadi

Dilema Pengelolaan Kekuasaan

Kandidat Doktor Ilmu Politik
Pada School of History, Politic and Strategy, UKM Malaysia.

 

Masa-masa menuju Pemilu 2009, khususnya masa pencalonan kader partai menjadi anggota legislatif, merupakan masa dimana para pengelola kekuasaan mengalami dilema. Masa-masa ini, seakan-akan telah menjadi titik kulminasi dari adanya “tabrakan” berbagai kepentingan politik. Hal itu disebabkan karena masa pencalonan dianggap sebagai masa dimana kader-kader partai ”membuka tabungan politiknya”, dan semuanya berharap bahwa mereka pantas dicalonkan. Persoalan dilematis muncul, pada saat ”kue politik” yang harus dibagi terbatas. Biasanya, konflik politik pun tidak terhindarkan.

Konflik politik pada masa pencalonan merupakan ”konflik bawaan” dalam sistem demokrasi yang menjadikan partai politik sebagai satu-satunya agen pemasok kepemimpinan politik. Dan pemilu yang menjadi ajang pertarungan politik, dianggap sebagai momen satu-satunya untuk menjadi pemimpin. Dalam konteks yang lebih prosedural, konflik masa pencalonan terjadi, karena masa ini dianggap sebagai satu-satunya prosedur yang pertama kali harus dilewati oleh mereka yang berkepentingan menjadi pemimpin.

Meski konflik politik tidak sampai terjadi pada level prosedural, para pemimpin umat Islam pasca Rasulullah SAW, mengalami konflik yang sama. Akar persoalan utamanya adalah persepsi subjektif bahwa mereka semua merasa pantas untuk menjadi pemimpin. Sedikit sekali yang merasa pantas menjadi yang dipimpin. Yang membuat saya menjadi prihatin adalah karena persepsi subjektif tersebut muncul karena kuatnya faham materialisme yang menganggap kekuasaan sebagai pintu menuju kesejahteraan material dari para individu pemilik kekuasaan.

Masalah prosedural yang membuat dilema para pengelola kekuasaan adalah tentang bagaimana menjaring calon-calon pemimpin yang pantas, sementara mereka mengalami keterbatasan informasi untuk menilai (lahir-bathin) dari calon-calon tersebut. Sebaik apapun metode yang digunakan, seringkali tidak lepas dari protes, baik yang secara laten maupun yang manifes. Protes-protes tersebut merupakan fakta yang biasanya dipertimbangkan oleh para pengelola kekuasaan, meski terkadang dibiarkan untuk dilihat dalam kacamata yang positif.

Masalah ”pengalokasian nilai kekuasaan” telah lama menjadi locus para ilmuan politik. Dan dalam sejarah panjangnya, persoalan ini tidak pernah terpecahkan dengan baik. Persoalan ini telah menjadi ”luka yang menganga” dalam dunia politik praktis dan sengaja dibiarkan. Sedikit sekali para ilmuan yang mau melihat ”pelajaran politik” dari kaum shalafush shalih di Madinah pada abad 6 Masehi. Pada pandangan saya, keengganan para ilmuan untuk melihat ke abad tersebut, lebih karena ”pelajaran politik” tersebut sudah dianggap ”tinggal kenangan” karena Generasi Muslim penerusnya tidak pernah mempraktekkannya lagi. Bahkan di Indonesia, hingga negara ini melewati era reformasi. Partai-partai Islam yang pernah ada pun, tidak pernah mempraktekkannya.

Angin sejuk dalam penggunaan metode tersebut, sebenarnya telah bergulir sejak Partai Keadilan Sejahtera (dulu PK) berdiri. Partai ini berhasil membuat ”bungker politik” yang membuat kader-kadernya menjadi tabu untuk bicara apalagi meminta menjadi calon legislatif atau caleg. Fenomena ”bungker politik” inilah, yang menjadi salah satu faktor yang membuat PKS tetap survive dari konflik internalnya hingga Pemilu 2004. Namun demikian, PKS pun sepertinya harus ”berkeringat lebih banyak” untuk mempertahankan agar ”bungker politik”-nya tidak jebol pada proses pencalonan legislatif saat-saat ini.

Ada dua hal yang ingin saya luruskan agar ”bungker politik” tersebut tetap survive. Pertama, perlu diluruskannya persepsi subjektif terhadap kekuasaan, menjadi persepsi objektif terhadap kepemimpinan. Pemilu yang terlihat sebagai ”pintu teraihnya” kesejahteraan material individual, harus dilihat sebagai ”pintu gerbang” menuju kepemimpinan perjuangan dakwah. Kalau toh sepertinya di sana banyak kenikmatan material yang akan diraih, sesungguhnya di sanalah tempat dimana ”halaman neraka” justru dibuka bagi para calon pemimpin yang tidak kapabel tapi merasa pantas untuk memimpin (menjadi caleg). Pada saat yang sama, ”halaman surga” terbuka bagi jiwa-jiwa yang tenang (QS Al Fajr : 27-30). Kedua, perlu diluruskannya definisi kekuasaan.

Apabila al Hadits saja bicara tentang signifikannya kekuasaan yang inheren pada setiap diri manusia sehingga karenanya ia harus memimpin dirinya, dan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu, maka tidaklah heran apabila seorang ilmuan politik seperti Talcott Parsons (1957 : 139) memberikan penekanan atas definisi kekuasaannya pada soal kemampuan untuk terjaminnya pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang mengikat. Artinya, baik al Hadits maupun ilmuan barat tersebut, memberi arti penting atas adanya kekuasaan yang sesungguhnya telah dimiliki oleh setiap orang, dan karenanya ia terikat dengan kewajiban yang timbul dari adanya kekuasaan tersebut.

Dalam konteks dimana seseorang menjadi caleg, maka sesungguhnya ia akan ”menerima sebagian” tanggungjawab dari kekuasaan orang-orang yang memilihnya pada saat Pemilu, dan ia harus mempertanggungjawabkannya secara politik maupun secara ukhrawi. Pemahaman atas besarnya tanggungjawab inilah, yang telah membuat Umar bin Khattab menangis pada saat menerima kekuasaannya sebagai khalifah. Apakah para caleg saat ini sedang menangis seperti Umar, atau justru sedang bergembira seperti halnya Abu Jahal? Wallahu ’Alam.

 

Arsip