Kamis, 31/07/2008
Robi Nurhadi
Menuju Jakarta Welfare City
* Dosen FISIP Universitas Nasional/Tenaga Ahli DPRD Propinsi DKI Jakarta
Pada bulan Juni 2008 ini, usia Jakarta genap 481 tahun. Dalam ukuran usia hidup manusia, Kota Jakarta telah melewati sedikitnya lima generasi. Sebuah perjalanan kota yang panjang. Pada panjangnya perjalanan tersebut, Jakarta selalu dihadapkan pada banyak pertanyaan. Salah satunya adalah bagaimana komitmen Jakarta terhadap masalah peningkatan kesejahteraan warganya. Pertanyaan ini semakin menguat sehubungan wajah material Jakarta yang semakin kinclong sementara ”wajah kesejahteraan mayoritas”-nya kurang menggembirakan.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2007 misalnya, menyebutkan bahwa penduduk yang tidak tamat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 1,067.336 jiwa atau 11,91 persen penduduk Jakarta. Kalau ukuran wajib sekolah dasar diletakan sampai pada tingkat SLTP (SD + SLTP), maka angkanya lebih parah lagi, yaitu menjadi 2.954.808 jiwa atau 32,86 persen. Meski pemerintah DKI mengklaim bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP sudah mencapai lebih dari 95 persen, keberadaan 32,86 persen penduduk Jakarta yang tidak sampai SLTP, lalu kemudian dibiarkan, akan mempengaruhi ”wajah kesejahteraan mayoritas”.
Komitmen pemerintah dalam soal pendidikan juga dipertanyakan karena berdasarkan pendataan Asset Management Plan (AMP) tahun 2007, DKI Jakarta hanya mempunyai 1.509 gedung sekolah untuk menampung 2.552 sekolah, dimana 40 persennya dalam kondisi memprihatinkan (kategori rusak berat dan rusak total). Bagaimana mungkin kenyataan seperti itu masih hadir bagi sebuah kota yang sudah cukup tua ini?
Di luar soal pendidikan, Jakarta dihadapkan pada tren grafik kemiskinan yang terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan pendataan jumlah jiwa yang masuk dalam JPK-GAKIN, tercatat angka sebagai berikut: 66.100 (2002), 438.027 (2003), 486.356 (2004), 534.584 (2005), 565.982 (2006), 642.936 (2007). Progresivitas angka kemiskinan di Jakarta diperkirakan akan terus meningkat pada tahun 2008, sehubungan adanya kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008.
Menangani ancaman memburuknya ”wajah kesejahteraan mayoritas” Kota Jakarta, kita perlu ”membangun kembali” komitmen pembangunan Jakarta sebagai Jakarta Welfare City, sebagaimana Fatahilah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Fathan Mubina atau Jayakarta, yang artinya kemenangan terakhir. Jayakarta pada saat itu menjadi ”pintu pembuka” diraihnya kesejahteraan bagi warga secara lahir dan bathin.
Jakarta Welfare City memestikan adanya komitmen politik kesejahteraan sebagaimana yang diusung oleh Fatahilah dulu. Konteks kekinian yang menempatkan Jakarta sebagai kota berbadan hukum, memestikan adanya komitmen konstitusional yang menjamin kesejahteraan bagi warga Jakarta. Misalnya, dalam bentuk Peraturan Daerah atau Undang-Undang yang mengatur Kota Jakarta. Sehingga masalah kesejahteraan warga Jakarta, bukan sekedar janji kampanye atau platform seorang gubernur, yang kalau gubernurnya ganti, maka berganti pula komitmen tersebut. Komitmen adanya Jakarta Welfare City juga didasari oleh sebuah kenyataan dimana Jakarta sebagai pusat bisnis, meniscayakan adanya ketidaksempurnaan mekanisme pasar. Sehingga, keberadaan Jakarta Welfare City diharapkan mampu mengurangi kesenjangan yang hadir akibat gagalnya mekanisme pasar tersebut.
Jakarta Welfare City juga memestikan adanya suatu sistem yang memberi peran dan tanggungjawab lebih besar kepada pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial yang terencana, melembaga, dan berkesinambungan (Suharto, 2006). Sehingga peranan pemerintah ditampilkan pada fungsinya sebagai agent of economic and social development. Artinya, pemerintah tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi juga memperluas distribusi ekonomi melalui pengalokasian public expenditure dalam APBD dan kebijakan publik yang mengikat. Namun demikian, pemerintah harus sudah menghentikan model pemecahan masalah kesejahteraan sosial, dengan proyek-proyek sosial yang berjangka pendek.
Dengan mengadopsi konsep dasar welfare state, Jakarta Welfare City dapat meniru penerapan konsep welfare statenya Selandia Baru. Negara ini tidak menerapkan model ideal konsep welfare state yang secara teori dianggap paling baik. Namun, penerapan konsepnya relatif lebih maju dibanding negara-negara yang menganut model residual (sebagaimana berlaku di AS, Inggris dan Australia). Supaya pemerintah tidak terbebani sendiri, model korporasi yang berlaku di Jerman, dapat melengkapi konsep Jakarta Welfare State. Model welfare state tersebut, mengajak dunia usaha dan masyarakat yang mampu untuk mendanai Jakarta Welfare City.
Penerapan konsep welfare state dalam suatu unit politik setingkat propinsi bukanlah suatu yang utopia. Eksperimentasinya pernah terjadi di negara-negara bagian Amerika Serikat yang menerapkan konsep ”Negara Kesejahteraan Desentralis”. Dengan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi seperti sekarang ini, Pemerintah Jakarta dapat mendayagunakan deposito kekuasaan yang dimilikinya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warganya. Apalagi, Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya serta beberapa peraturan perundang-undangan seperti UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, mendukung ke arah penggunaan deposito kekuasaan pemerintah daerah untuk merealisasikan komitmen Jakarta Welfare City. Karenanya, mari kita rayakan Ulang Tahun Kota Jakarta kita ini dengan sesuatu yang lebih substanstif bagi pembangunan kesejahteraan warga Jakarta, agar jeritan-jeritan warga miskin di Jakarta tidak terlalu keras kita dengar.