Rabu, 30/07/2008

Ardy Purnawan Sani, M.Si

Penataan Ruang Berbasis Ekosistem

*Urban Planning Specialist

 

Usia 481 Tahun bagi DKI Jakarta merupakan usia yang tidak lagi muda untuk ukuran sebuah kota, banyak hal telah dialami DKI Jakarta sebagai ibukota negara, diantaranya adalah Banjir yang sepertinya menjadi ‘rutinitas’ kota ini. Banjir besar telah terjadi beberapa kali melanda Jakarta, diantarannya terjadi pada tahun 1996, 2002 dan pada awal bulan Februari 2007 lalu lebih dahsyat dibandingkan banjir sebelumnya. Menurut data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) curah hujan tertinggi pada saat banjir tahun 1996 adalah 113 mm dan 210 mm pada tahun 2002, sedangkan curah hujan tertinggi pada saat Jakarta dilanda banjir awal Februari 2007 lalu mencapai 339 mm, tertinggi sepanjang 10 tahun terakhir. Hal tersebut menjelaskan bahwa air hujan yang ‘tumpah’ mempunyai volume yang sangat besar. Wilayah DKI Jakarta sebagian besar sudah menjadi daerah terbangun (buildup area) hal tersebut menjadikannya kedap terhadap air, sehingga air tidak dapat meresap kedalam tanah, dan air hujan yang jatuh ke bumi menjadi aliran permukaan (runoff). Maka banjir adalah kenyataan pahit yang harus dirasakan oleh warga kota Jakarta, disaat sistem drainase kota ini tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik.

Jakarta Krisis RTH
Salah satu faktor penyebabnya adalah kebijakan Tata Ruang Kota yang kurang mengakomodasi aspek ekologi. Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) seperti taman, jalur hijau, hutan kota dianggap tidak produktif dan tidak memiliki nilai ekonomis sehingga banyak yang dialih fungsikan peruntukannya untuk kegiatan yang lebih bernilai ekonomis, seperti: SPBU, kawasan perkantoran, pusat perdagangan/mall dan kawasan industri properti lainnya. Potret kota DKI Jakarta diusianya yang ke-481 tahun memperlihatkan perkembangan kota yang tanpa pola bagaikan “telor ceplok yang melebar semaunya” menghabisi kawasan terbuka hijau. Kondisi ini dapat dilihat secara kasat mata dengan menurunnya luas RTH kota DKI Jakarta secara keseluruhan dari tahun ketahun, yaitu:
 Tahun 1972 luas RTH Jakarta 32.110,30 ha (49,40%);
 Tahun 1976 luas RTH Jakarta 30.990,32 ha (47,67%);
 Tahun 1979 luas RTH Jakarta 27.014,23 ha (41,56%);
 Tahun 1985 luas RTH Jakarta turun menjadi 23.551,35 ha (36,23%);
 Tahun 1995 luas RTH susut menjadi 24,88%;
 Tahun 2008 luas RTH Jakarta diperkirakan tidak lebih dari 9 %;

Sedangkan target RTH yang tercantum dalam Perda No. 6 tahun 1999 tentang RTRW 2010 adalah sebesar 13,94%. Jika mengacu pada UU No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang dan hasil KTT bumi di Johannesburg luas minimal ruang terbuka hijau (RTH) adalah 30% dari luas kota. Jelas keberadaan RTH kota DKI Jakarta saat ini tidak bisa dianggap ideal serta berpotensi besar untuk mengalami bencana yang disebabkan menurunnya daya dukung lingkungan terhadap kesinambungan kota.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 38/1987, setidaknya dibutuhkan ruang terbuka seluas 5 m2/penduduk. Sebagai perbandingan luas RTH di Jepang adalah 5 m2/penduduk; di Malaysia 2 m2/penduduk; di Inggris 7-11 m2/penduduk; sedangkan di Bandung 0,45 m2/penduduk dan di DKI Jakarta pada saat ini adalah 0,55 m2/penduduk dari total luas Jakarta.

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan RTH di antaranya adalah: 1) Pemanfaatan RTH cenderung pada fungsi tunggal yaitu sebagai penghijauan atau estetika kota saja, padahal RTH juga memiliki fungsi sosial dan ekologis ; 2) Pengadaan RTH masih bersifat parsial; 3) Keberadaan RTH dapat dikesampingkan karena kepentingan lain yang lebih menguntungkan.

Untuk itu, pendekatan yang harus diterapkan dalam menangani masalah RTH adalah dengan pendekatan sistem, yaitu bahwa RTH merupakan salah satu komponen sistem kota yang saling terkait dengan komponen-komponen lainnya. Maka hal yang dipahami terkait dengan keberadaan RTH di perkotaan adalah merupakan bagian dari sistem penataan ruang yang seimbang antara komponen yang satu dengan yang lainnya (seperti: permukiman, kawasan hijau, kegiatan ekonomi, maupun prasarana transportasi) jika hal tersebut terjadi akan memberikan pengaruh yang baik pada kondisi lingkungan perkotaan.

Pendekatan Bioregional
Ruang terbuka hijau (RTH) diartikan sebagai: suatu lahan atau kawasan, berbentuk area atau jalur yang mengandung unsur dan struktur alami. Baik unsur alam berupa tanah, tumbuh-tumbuhan/vegetasi, badan-badan air maupun unsur-unsur alam lainnya. Fungsi RTH adalah untuk mengendalikan tata air, mencegah longsor & erosi, pengendali pencemaran, ameliorasi iklim, habitat satwa liar, konservasi plasma nutfah dan fungsi ekologis lainnya. RTH juga berfungsi untuk rekreasi dan interaksi sosial, serta untuk menciptakan keindahan lingkungan.

Namum dalam konteks tata ruang fungsi RTH terutama ditekankan pada aspek ekologi. Didalam penataan ruang, berbagai jenis ruang terbuka hijau dengan berbagai fungsi dan manfaatnya, harus diintegrasikan dengan rencana tata ruang kota, tata ruang wilayah dan rencana tata ruang regional sebagai satu kesatuan sistem (Regional Park System).

Dengan demikian akan tampak jelas keterkaitan antara kota dengan wilayah yang lebih luas disekitarnya (hinterland). Namun demikian dengan adanya Undang-undang Otonomi Daerah yang memberi kewenangan yang luas pada setiap daerah, hal ini justru mengakibatkan tidak adanya keterpaduan tata ruang antar daerah. Ini juga mencerminkan “arogansi dan ego sektoral” daerah. Masing-masing daerah mempunyai kebijakan sendiri-sendiri dalam mengatur tata ruang wilayahnya sesuai batas administrasinya.

Sebagai contoh, wilayah Jakarta Selatan dalam tata ruang ditetapkan sebagai daerah resapan air dengan KDB rendah (maksimal 30% dari luas bangunan), berbatasan langsung dengan wilayah Depok yang mempunyai kebijakan tataruang yang berbeda (KDB hingga 80% dari luas bangunan). Pendekatan tata ruang yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan seharusnya tidak didasarkan pada batas-batas administratif suatu daerah, tetapi didasarkan pada batas-batas ekologis. Inilah yang disebut “tata ruang berbasis ekosistem”.

Wilayah DKI Jakarta secara fisik (hidro geologis) berada di cekungan Jakarta yang dialiri 13 sungai yang berhulu di wilayah Bogor Jawa Barat secara ekologi merupakan satu kesatuan ekosistem daerah aliran sungai. Namun dalam penataan ruang, daerah hulu yang merupakan kewenangan pemerintah daerah Bogor Jawa Barat, tidak dapat padu didalam penataan ruang wilayah DKI Jakarta walaupun sebenarnya bisa diterapkan sistem ‘one river one management’.

Banjir yang diakibatkan oleh penggundulan hutan didaerah hulu yang seharusnya menjadi kawasan konservasi (lindung) sangat sulit diantisipasi oleh pemerintah DKI Jakarta karena bukan termasuk kewenangannya. Depok sebagai daerah tengah dalam sistem daerah aliran sungai (DAS) juga mempunyai kebijakan tata ruangnya sendiri yang tidak terpadu dengan tata ruang DKI Jakarta. Oleh karena itu secara kelembagaan perlu dibentuk instansi yang mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur, mengkoordinasi dan mengawasi kebijakan tata ruang antar wilayah secara terpadu.

Pendekatan tata ruang wilayah sebaiknya didasarkan pada batas-batas ekologi seperti ekosistem DAS (Daerah Aliran Sungai) bukan batas-batas administrasi. Penataan ruang wilayah yang didasarkan pada pendekatan ekosistem tersebut adalah pendekatan Bioregionalisme. Konsep bioregionalisme berusaha untuk memadukan kondisi alam dan kesadaran budaya komunitas lokal sebagai acuan utama untuk mengindikasikan potensi suatu wilayah/region.

Secara vertikal diperlukan pemahaman tentang bioregional layers dan secara horisontal bioregional linkages. Secara vertikal lingkungan alam terdiri dari tiga lapisan yaitu: 1) udara yang berhubungan dengan iklim; 2) permukaan tanah yang berhubungan dengan peruntukan/kesesuaian lahan; dan 3) lapisan bawah tanah yang berhubungan dengan formasi geologi. Sedangkan secara horisontal adanya keterhubungan antara lingkungan kota (urban), lingkungan pertanian (agricultural) disekitarnya dan lingkungan alami (natural) didaerah hulu. Dengan demikian pandangan yang antroposentris dipadukan dengan pandangan ekosentris. Wilayah kota secara geografis maupun ekologis tidak terlepas dengan wilayah sekitarnya. Dengan demikian struktur ruang terbuka hijau kota “makro” maupun “mikro” dengan bentuk area maupun jalur, dapat dijadikan sebagai tulang-punggung struktur penataan ruang yang berbasis ekosistem.

 

Arsip